I Am Malala: She’s Young, Brave and Bright

Judul: I Am Malala | Penulis: Malala Yousafzai dan Christina Lamb | Penerbit: Back Bay Books| Tebal: 310 halaman | Tahun terbit: 2013 | Harga: Rp122.000 (Periplus Bookstore)

Siapa tak mengenal Malala Yousfazai? Perempuan belia Pakistan ini menyita perhatian dunia atas kegigihannya dalam memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak Pakistan. Pada 2014, tepat ketika berusia tujuh belas tahun, Malala dinobatkan sebagai penerima Penghargaan Nobel Perdamaian termuda sepanjang masa.

I Am Malala merupakan sebuah biografi yang menggugah. Pada bagian pertama buku ini, pembaca akan disuguhi kisah sejarah Pakistan secara singkat. Ia banyak menyoroti masa kepemimpinan Presiden Muhammad Zia ul-Haq pada 1978-1988. Kebijakan-kebijakan diktator Presiden Zia banyak membatasi ruang gerak perempuan Pakistan. Kebebasan berekspresi perempuan ditekan, bahkan mereka terancam tak mempunyai hak untuk menikmati pendidikan selayaknya laki-laki. Pada bab-bab pertama, Malala juga banyak mendeskripsikan tanah kelahirannya, Swat. Setiap kalimat yang dituturkan berhasil membuat pembaca membayangkan keindahan Swat yang dikelilingi oleh pegunungan, air terjun dan danau dengan air sejernih kristal. Kehidupan masyarakat Swat sangat rukun dan damai.

Namun, semua hal tersebut musnah ketika Taliban menyerang. Pakistan tidak menjadi lebih baik di bawah kuasa Taliban. Fazlullah, pemimpin gerakan Taliban, semakin menekan ruang gerak perempuan Pakistan melalui perintah yang mengharuskan perempuan untuk berdiam diri di rumah, perempuan dilarang bepergian kecuali dalam keadaan mendesak dan harus selalu mengenakan kerudung. Lebih lanjut, ia melarang anak-anak perempuan Pakistan untuk bersekolah. Gedung-gedung sekolah perempuan ditutup paksa dengan cara dihancurkan hingga rata dengan tanah.

Sejak kecil, Malala telah bercita-cita untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak Pakistan. Suatu hari Malala merasa sangat iba saat melihat seorang pemulung yang berusia hampir sama dengannya. Malala kemudian berusaha menggalang bantuan untuk anak-anak pemulung di daerah tempat tinggalnya. Namun, tidak semua teman-teman Malala menyetujui ide itu. Ia dengan tegas mengatakan, “Kita bisa berdiam diri dan berharap pemerintah akan membantu, tapi tidak. Jika aku bisa membantu satu atau dua anak dan keluarga lain juga melakukan hal yang sama, maka kita akan mampu saling menolong”. Sejak saat itulah, perjuangan Malala dimulai.

Ketika Taliban semakin berkuasa untuk menutup seluruh sekolah di Pakistan, Malala berjuang dengan karyanya. Kemampuan menulis, berpidato dan berbahasa Inggris mengantarkannya menjadi koresponden BBC Urdu.  Di bawah nama pena Gul Makai, Malala menceritakan bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan Taliban. Kisah-kisah Malala berhasil menyita perhatian New York Times yang kemudian membuat sebuah video dokumenter tentang kehidupan dan pendidikan masyarakat Pakistan. Video ini berhasil menyita perhatian dunia. Malala kemudian banyak diundang dalam berbagai wawancara media. Ia juga banyak berpartisipasi dalam konferensi-konferensi tingkat dunia untuk menyuarakan hak anak-anak Pakistan.

Tentu saja dalam buku ini Malala juga menceritakan peristiwa penembakan yang hampir merenggut nyawanya. Bagaimana insiden itu terjadi hingga bagaimana ia menjalani proses penyembuhan hingga ke Inggris diceritakan Malala dengan beragam emosi yang dirasakannya saat itu. Penembakan oleh Taliban tersebut boleh jadi melumpuhkan Malala sesaat, namun ia kembali bangkit, menyuarakan dan meneruskan perjuangannya di bidang pendidikan dengan lebih lantang.

Membaca I Am Malala, kita akan dibuat terpukau dengan pemikiran Malala yang begitu dewasa dan bijaksana. Siapa sangka jika perempuan ini baru berusia delapan belas tahun? Usia belia tidak menghalangi Malala untuk melakukan perubahan. Ia gigih memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak Pakistan, utamanya anak-anak perempuan. Perjuangannya membuahkan berbagai penghargaan di antaranya Pakistan National Youth Peace Prize (2011), nominasi International Children’s Peace Prize (2011), Nobel Prize Peace Award (2014), runner-up TIME Person of the Year  (2015). Kini Malala terus memperjuangkan akses pendidikan bagi anak-anak dunia melalui NGO yang ia dirikan, Malala Fund.

Ah, satu lagi. Saya sangat suka bagaimana Malala mengisahkan keluarganya, terutama ayahnya. Di balik seorang Malala yang begitu hebat, tentu saja ada keluarga hebat yang senantiasa mendorongnya untuk berkembang semaksimal mungkin. (chk)

1 thought on “I Am Malala: She’s Young, Brave and Bright

  1. Ini edisi Indonesia, Kak?

    Like

Leave a comment

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close