Norwegian Wood: Beautifully Depressing

Judul : Norwegian Wood | Penulis : Haruki Murakami | Penerbit : Vintage Books | Cetakan : Januari 2011 | Tebal: 288 halaman | Harga: Rp134.000 (Periplus Bookstroe)

 “We were that close. So after he died, I didn’t know how to relate to other people. I didn’t know what it means to love another person” (Norwegian Wood, pg 150)

Sudah lama saya ingin membaca karya-karya Haruki Murakami. Tentu saja karena semua orang membicarakan penulis Jepang yang digadang-gadang menerima penghargaan Nobel bidang kesusastraan ini. Namun seperti pembaca pemula Murakami yang lain, saya dihadapkan pada kebingungan untuk memilih novel Murakami mana yang akan saya baca pertama kali. Murakami terkenal dengan cerita dan gaya penulisan yang eksentrik. Beberapa orang yang saya kenal dibuat kapok dengan gaya penulisan serba detail dengan alur yang lambat. Tetapi banyak orang lain yang berapi-api menyemangati saya untuk mulai membaca Murakami.

Dari banyak novel Murakami, pada awalnya saya tertarik dengan Kafka on the Shore. I don’t know why, but the title sounds very appealing to me. Tapi akhirnya pilihan jatuh kepada Norwegian Wood karena banyak sekali yang merekomendasikan judul ini pada saya.  

Kutipan yang saya tulis di awal sedikit banyak menggambarkan inti Norwegian Wood, novel Haruki Murakami yang diterbitkan pada 1987. Sejak awal cerita, Norwegian Wood telah mengajak pembaca untuk mendalami makna kehilangan. Adalah Toru Watanabe dan Naoko yang berbagi duka atas kematian Kizuki. Walaupun mereka bertiga telah bersahabat sejak kecil, Toru selalu menganggap bahwa persahabatan mereka cukup aneh. Naoko dan Kizuki berpacaran sementara Naoko dan Toru tidak merasa cukup dekat, bahkan untuk sekadar berbincang. Kizuki-lah yang salalu berhasil mencairkan suasana di antara dua orang terdekatnya. Kematian Kizuki akibat bunuh diri membuat Toru dan Naoko sangat terpukul. Berbagi duka membuat mereka dekat dan saling jatuh cinta.

Kematian Kizuki memberikan dampak yang serius pada Naoko, ia menyepi untuk mendapatkan perawatan mental intensif di sebuah sanatorium di pinggiran Kyoto. Sementara itu, Toru menjalani kehidupan –yang selalu ia sebut sebagai kehidupan yang biasa-biasa saja– di Tokyo. Mereka berhubungan melalui surat dan sesekali Toru datang menjenguk Naoko. Hari-hari Toru menjadi sedikit tidak biasa ketika ia mengenal Midori. Berbeda dengan Naoko yang rapuh, Midori memiliki semangat yang bebas. Ia secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan serta membagi fantasi-fantasi terliarnya kepada Toru.

Selepas membaca Norwegian Wood, saya berpendapat bahwa cerita ini tak hanya soal cinta tetapi juga mengenai gangguan mental. Setiap tokoh Norwegian Wood menghadapi permasalahan hidup yang berpengaruh besar terhadap kesehatan mental mereka. Kizuki meracuni diri dengan karbon monoksida tanpa pernah memperlihatkan tanda depresi pada orang-orang terdekatnya. Rieko, teman satu kamar Naoko di sanatorium, trauma berkepanjangan akibat pengalaman traumatis bersama gadis berusia tiga belas tahun. Bahkan seorang Midori mengalami tekanan menahun karena harus mengurus orangtua yang sakit dan akhirnya meninggal. Naoko mengalami schizophrenia akut hingga akhir hidupnya. Akibatnya, Toru dilanda depresi berat dan hidup menggelandang selama satu bulan. See how much this book tell us about loss, death and grief? It’s beautiful but kind of depressingly beautiful.

Secara keseluruhan, saya sangat menyukai Norwegian Wood. Walaupun di beberapa harus bersabar dengan deskripsi-deskripsi suasana yang detail, saya tidak menyangka jika pengalaman membaca Murakami pertama saya cukup menyenangkan. Saya merasa mendapatkan kesan yang sangat berbeda jika dibandingkan pada saat membaca novel-novel young adult barat. Boleh jadi tokohnya sama-sama remaja dan berbicara soal cinta, tapi saya merasa mendapat makna lebih ketika membaca Norwegian Wood.

Berdasarkan review-review yang saya baca, memang novel Norwegian Wood menjadi salah satu buku yang disarankan bagi pembaca pemula Murakami. Saya setuju karena novel ini realis, tidak sulit dipahami layaknya cerita roman pada umumnya. Cocok dinikmati sebelum melangkah ke novel-novel Murakami lain yang lebih surealis seperti IQ1984, A Wild Sheep Chase, After The Quake, The Wind-Up Bird Chronicle, Hard-Boiled Wonderland and the End of the World, dll.

Banyak juga review yang menyebutkan bahwa Norwegian Wood ini adalah karya Murakami yang paling erotis. Tampaknya saya harus tidak cukup setuju dengan hal ini. Persetubuhan antara Toru dan Naoko atau Midori, walau digambarkan dengan cukup detail, menurut saya masih cukup “santun”. Yang mungkin cukup “mengganggu” adalah cerita lesbian Rieko. Namun masih harus saya akui keerotisan Murakami belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Eka Kurniawan dalam Cantik Itu Luka.

Baca juga review novel-novel Murakami yang ditulis oleh Eka Kurniawan . Semoga dapat membantu kita bersama untuk membaca karya Murakami yang lain! (chk)

2 thoughts on “Norwegian Wood: Beautifully Depressing

  1. hingga kini karya Murakami belum tertandingi,,,

    Like

Leave a comment

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close